Friday, June 8, 2018

UKM HEBAT

Tertanam di dua buah pot plastik berkelir hitam, tanaman cabai hiyung itu tumbuh merekah. Selain tumbuh meninggi, pohon menghasilkan cabai yang lebat. Sementara puluhan botol abon cabai hiyung dijajar rapi di atas meja.
Di stan pamer Lembaga Pengembangan Bisnis Banua Prima Persada pada Kalsel Expo 2017, kedua hasil budidaya milik Junaidi dan Kelompok Tani Karya Baru itu banyak mencuri perhatian pengunjung yang kebetulan lewat stan Lembaga Pengembangan Bisnis Baprida.
Junaidi sejatinya baru lima bulan terakhir sukses menumbuhkan pohon cabai hiyung setinggi satu meteran. Maklum, ia baru mendapat asupan ilmu setelah mengikuti bimbingan budidaya cabai merah di Kota Bogor, Jawa Barat, pada Maret 2017. Setelah Bogor, Junaidi bergeser ke Bandung untuk belajar mengolah produk hortikultura pasca-panen.
Berstatus Ketua Kelompok Tani Karya Baru, LPB Baprida mengutus Junaidi belajar aneka cara budidaya dan pengolahan pasca-panen. Lima hari belajar ke tanah Pasundan, Junaidi bergegas mengaplikasikan ilmu itu ketika tiba di kampung halaman, Desa Hiyung, Kecamatan Tapin Tengah, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan.
“Setelah bimbingan teknologi, hasilnya tanaman cabai lebih lebat, meski ditanam dengan jarak 60-70 sentimeter di ladang. Artinya, produktivitas cabainya lebih banyak,” kata Junaidi.
Suami dari Kapsah ini menekuni budidaya cabai hiyung sejak 2010, setelah kepincut melihat harga cabai hiyung dan cerita sukses petani cabai di desa itu. Semangat Junaidi kian menabal karena Desa Hiyung sudah kesohor dikenal penghasil cabai yang diklaim punya rasa pedas 17 kali lipat ketimbang cabai lain.
Di sela rutinitas sebagai Sekretaris Desa Hiyung, ia mula-mula menanam cabai hiyung di lahan seluas 0,5 hektare bermodal duit Rp2 juta. Puas meraup keuntungan budidaya cabai, Junaidi menambah lahan tanam seluas 1 hektare. Ia tekun berbudidaya cabai karena petani sejatinya tak pernah merugi besar di tengah fluktuasi harga.
“Cabai enggak ada ruginya. Kalau pun harga anjlok, pengaruhnya untung jadi sedikit. Tapi enggak rugi, lebih banyak dapat harga bagus,” kata Junaidi.
Empat tahun pertama budidaya cabai, ia melego semua hasil pertaniannya lewat tengkulak. Maklum, Junaidi dan anggota kelompok tani cuma menggantungkan penjualan hasil bumi ke tengkulak, tanpa ada akses langsung ke pembeli, apalagi berkreasi mengolah produk turunan cabai hiyung.
Bantuan bukan tak pernah datang. Pemerintah Kabupaten Tapin membantu pengadaan bibit dan alat pertanian. Toh, kata Junaidi, petani cabai tetap bergantung tengkulak ketika menginjak musim panen. Ahasil, petani seperti Junaidi tak punya alternatif pemasaran melego cabai demi meraup untung lebih besar.
Sadar ingin lepas dari jerat monopoli tengkulak, Junaidi kepincut program pemberdayaan dan pelatihan yang digagas oleh LPB Baprida ketika menyambangi Desa Hiyung pada 2014. Junaidi makin antusias setelah LPB Baprida berkomitmen mendampingi petani mulai hulu sampai hilir. Lewat program di LPB, Junaidi dan kelompoknya mula-mula diajari bagaimana mencari alternatif pemasaran, mengolah hasil pasca-panen, plus budidaya cabai yang baik.
“LPB benar-benar membina dari awal tanam sampai pasca-panen, membantu menyiapkan alat pengemasan plus mengurus izin registrasi produk," kata pria kelahiran Desa Hiyung, 7 November 1969 itu. "Sebelumnya pernah dengan Dinas Pertanian, tapi hanya dalam bentuk bantuan benih dan alat pertanian.”
Dengan binaan LPB Baprida, Junaidi memiliki banyak alternatif melego hasil buminya. Misalnya saja ketika harga cabai anjlok, ia membuat sambal kemasan atau dikeringkan untuk bahan baku abon cabai. "Abon cabai hiyung bisa tahan enam bulan tanpa pengawet.” Alternatif semacam ini yang membuat Junaidi tak lagi menggantungkan nasib ke tengkulak.
Karena petani lebih kreatif mengolah cabai hiyung menjadi aneka produk turunan, kata Junaidi, pundi-pundi keuntungan pun melonjak. "Khusus abon cabai, saya menambahkan aneka varian rasa, seperti rasa udang, original, dan bawang," katanya.
Junaidi tetap melibatkan 25 anggota kelompok taninya. Semua produksi pasca-panen itu digarap oleh anggota kelompok tani. Di Desa Hiyung, mereka punya showroom yang memajang aneka produk turunan cabai hiyung. Satu kilogram cabai hiyung kering bisa dibuat 35 botol abon cabai dengan isi 35 gram per botol. Sementara harga jualnya dibanderol Rp 20 ribu per botol abon.
Agar penetrasi pasar produk pasca-panen lebih cepat, Junaidi menjalin kongsi dengan Pemerintah Kabupaten Tapin. Ia meminta tamu-tamu pemerintah daerah agar dikasih buah tangan abon cabai hiyung.
“Tinggal telepon atau bisa ambil ke Desa Hiyung. Respons masyarakat sangat baik, kami enggak khawatir lagi kalau sewaktu-waktu harga cabai turun. Sejak ada produk pasca-panen, harga cabai hiyung jarang di bawah Rp30 ribu,” ujar Junaidi. Beres mengolah abon dan sambal, ia bercita-cita mengolah keripik singkong cabai hiyung.
Selain itu, Junaidi terbantu membuka akses pemasaran cabai ke pasar modern. Sejak 2015, ia memperoleh jalan untuk melego cabai hiyung ke Lotte Mart. Dua tahun berikutnya, Junaidi memperluas pemasaran cabai ke Giant. Ia dan kelompok taninya rata-rata memasok 20-30 kilogram cabai hitung dalam sekali kirim. Ada pun dalam sebulan, Junaidi biasanya melakukan dua kali pengiriman.
"Kami juga mengirim 10 kilogram cabai hiyung ke ke salah satu restoran di Jawa Barat," kata dia.
Dengan asumsi satu hektare lahan butuh modal Rp5 juta, Junaidi kini meraup keuntungan bersih rata-rata Rp20 juta per bulan. Adapun sekali musim panen, ia bisa 26 kali memanen cabai di ladang seluas satu hektare itu. Ia merasa koceknya makin tebal setelah banyak alternatif pemasaran cabai hiyung. “Asumsi harga Rp35-40 ribu per kilogram,” kata Junaidi.
Toh, sederet cerita itu tetap menyisakan secuil masalah di sektor pertanian cabai hiyung. Junaidi dan petani lain cemas ketika hama penyakit tiba-tiba menyerang tanaman. Kalau sudah begini, Junaidi menyiasati dengan memilah cabai untuk dipanen lebih dulu.
Ke depan, Junaidi akan mengembangkan benih cabai rawit setelah mengantongi izin pengedaran. Di Desa Hiyung, prospek bisnis cabai hiyung agaknya terus mengilap. Walau banyak warga yang menekuni pertanian cabai hiyung, Junaidi tak merasa tersaingin. Bapak dari Ahmad Rizalu Arif dan Ahmad Zulfitri , itu malah antusias perekonomian desa makin tumbuh berbasis potensi lokal.
“Dari 423 kepala keluarga, 370 kepala keluarga bertani cabai hiyung. Total lahan seluas 112 hektare. Rata-rata memang perekonomian warga desa meningkat, desa kami tambah sejahtera dan mandiri,” cerita Junaidi.
Warga yang semula mayoritas bekerja ke luar negeri sebagai buruh, kini banyak yang menggarap budidaya cabai hiyung. Selain itu, kata Junaidi, warga sudah banyak yang berangkat umroh, naik haji, dan mampu merehab rumah lebih layak.
"Kini, kurang lebih 30 KK dari 423 KK yang masih tergolong miskin. Selain itu, kalau pada 2000, sekitar 40 persen penduduk Desa Hiyung menjadi buruh di luar negeri, sekarang cuma sisa 10 orang saja yang jadi TKI," ujar Junaidi. (dps) 

No comments:

Post a Comment